Membaca sejumlah catatan tentang sejarah Aceh yang heroik, ditulis Tgk M. Adli Abdullah, di sejumlah media massa di Aceh, mengingatkan saya pada satu kisah penuturan dan pengakuan seorang veteran tentara Belanda kepada kami saat mengunjungi Museum Aceh di Belanda, 12 Juli 2005. Dia bernama Koller, mengaku berdarah Belanda, Minang dan Nias serta pernah mengabdi sebagai serdadu Belanda di Aceh era 1930-an.
Saya mengunjungi Museum Bronbeek di Kota Arnhem, dekat dengan perbatasan Jerman bersama dua rekan, Faisal Ridha dan Nasruddin Abubakar (sekarang Wakil Bupati Aceh Timur) semasa transit empat hari di Belanda selepas menghadiri Consultative Meeting antara para perwakilan organisasi masyarakat sipil Aceh dengan para negosiator GAM yang sedang berunding dengan Pemerintah RI di Helsinki. Pertemuan tersebut merupakan yang kedua setelah yang pertama berlangsung pertengahan Mei 2005 di lokasi berbeda, masih dalam wilayah Stockholm. Acara ini difasilitasi The Olof Palme International Center, satu lembaga yang didirikan partai Sosial Demokrat di Swedia untuk mengenang Sven Olof Joachim Palme (1927-1986), bekas Perdana Menteri Swedia yang sangat popular, namun mati dalam insiden pembunuhan di jalanan pusat kota Stockholm, 1986.
Kesempatan transit di Amsterdam sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Aceh via Kuala Lumpur, kami manfaatkan untuk melawat Negeri Kincir Angin itu karena beberapa tujuan. Lagi pula bagi orang Aceh, Belanda bukan saja dikenal sebagai satu negara Eropa yang apik dengan kemajuan modernnya dan dihuni delapan belas juta manusia, lebih dari itu kita merasakan nuansa lain ketika mendengar istilah &-Belanda-. Nuansa masa lalu Aceh yang penuh dengan remuk redamnya peperangan, darah dan air mata para endatu kita, akibat menanggung beban dan tanggung jawab moral sebagai bangsa yang pantang menyerah dan tunduk pada arogansi kolonialisme.
Sesampai di Schiphol Airport, lima dari sepuluh orang rombongan yang pulang bersamaan dari Stockholm memutuskan pergi bersama Erwanto, seorang warga Aceh yang mendapat status refugee di Belanda ketika itu. Sedangkan kami lima orang lagi memilih menuju Rotterdam karena Fadlullah Musa yang juga tokoh masyarakat Aceh di Belanda, menunggu di sana dan siap memberikan rumahnya sebagai tempat kami bermalam. Hari kedua di Rotterdam, kami manfaatkan menuju tujuan utama: melawat satu museum yang telah lama membuat saya penasaran karena kedengarannya begitu heroik. Di museum ini tersimpan barang-barang peninggalan perang Aceh ketika melawan Belanda 1873-1942.
Setelah menghabiskan waktu tiga jam dalam kereta api, kami pun sampai di Arhnem dan selanjutnya dengan bus menuju tempat yang dituju, Bronbeek Museum. Dari sisi hadapannya, terlihat halaman yang luas dengan taman bunga serta beberapa patung tentara Belanda di depannyaómulai dari patung perwira sampai patung prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) atau juga dikenal Tentara Diraja Hindia Belanda. Di sekeliling bangunan yang berarsitek mirip gedung-gedung peninggalan Belanda di Indonesia itu, terlihat banyak sekali meriam dalam berbagai jenis terpajang teratur mengelilingi dinding museum yang dibawa ke sini atas keinginan Kerajaan Belanda mengabadikan bukti peninggalan sejarahnya selama perang menaklukkan negeri-negeri di bagian timur samudra India (Asia Tenggara sekarang). Seperti tersebut dalam websitenya, museum ini digelar Museum Perang dan termasuk yang tertua di Belanda serta mulai dibina tahun 1863 sejak masa Raja Willem III yang didedikasikan kepada bekas pasukan setianya KNIL, agar senantiasa dapat dikenang dalam memori mereka.
Siapa pun yang berkunjung ke sana, akan mendapati satu fenomena yang berbeda: aroma perang masa lalu sebagai bagian dari lembaran pahit peradaban manusia yang telah secara langsung maupun tidak mempengaruhi status kita sekarang.
Namun, anehnya suasana berbeda itu sama sekali tak terasa manakala kita memasuki museum-museum yang ada di Aceh atau di Indonesia pada umumnya. Mungkin manajemen museum kita belum berhasil menciptakan kesan yang spesifik kepada pengunjungnya sehingga jarang museum menjadi salah satu destinasi pariwisata atau pilihan untuk liburan keluarga di penghujung minggu.
Museum Bronbeek, di samping sebagai pilihan wisata umum, juga menjadi tempat anak-anak sekolah di Belanda mengenal sejarahnya secara dekat bahkan banyak para peneliti dengan mudah mengakses untuk keperluan studi. Di antara benda-benda penting yang tersimpan ialah meriam, seragam tentara, pedang, pangkat dan medali penghargaan militer, poster propaganda masa konflik, patung, senjata ringan, gambar dan beberapa catatan monumental.
Uniknya, museum ini tidak saja menyimpan benda-benda bisu, di situ masih ada sekitar 45 orang veteran perang yang menyisakan hidupnya untuk menuturkan pengalaman selama terlibat dalam perang sebagai tentara kolonial. Inilah yang membuat saya terkejut. Malah, begitu kami memasuki lobby museum dan menuliskan buku tamu, tiba-tiba seorang kakek muncul dari ruang resepsionis menegur kami dengan bahasa Melayu/Indonesia berdialek Belanda. Rupa-rupanya dia veteran tentara KNIL yang orang tuanya campuran Belanda dan Jawa Timur, kelihatan dia sangat senang dengan kedatangan kami dan bersemangat memperkenalkan diri. Saat dia tahu kami berasal dari Aceh, sontak ia menyebut: ìOh Aceh, strong people, orang Aceh hebat sekaliî. Suasana pun menjadi lebih menarik dan hasrat untuk segera memeriksa seisi museum makin kuat. Namun, sang veteran itu tak dapat menemani kami masuk ke dalam karena dia bertugas di ruang resepsionis.
Di dalam bangunan utama terdapat beberapa ruangan yang telah disekat berbentuk kamar yang luas dan dimasing-masing kamar terpajang patung, seragam, gambar dan peralatan masa lalu yang tampak saling terkait, interaktif dan merefleksikan gambaran sosial politik masa kolonial di wilayah-wilayah Hindia Belanda, termasuk sosok pejuang Ambon bersenjatakan parang sampai profil tentara Jepang. Ada pula senjata tank dan alat tempur dari perang dunia pertama dan kedua dengan berbagai koleksi gambar, terutama gambar para perwira Belanda.
Istimewanya di museum ini, kisah heroisme perang Aceh tergambar dengan sangat kentara. Ini terlihat dari peninggalan meriam-meriam Aceh dalam ukuran yang berbeda dan menempati sisi-sisi utama ruangan berkaca dan melintangi sudut-sudut museum. Ke manapun kita bergerak dalam museum, meriam-meriam itu tetap tampak paling mendominasi pandangan pengunjung. Mulai dari meriam berukiran keemasan buatan Turki sampai meriam Inggris yang dihadiahkan kepada Sultan Aceh dahulu. Di satu deretan dinding terpajang gambar-gambar Gubernur Militer Belanda di Aceh, mulai dari Mayor Jenderal Kohler yang mati terbunuh sampai Van Heutz yang buta sebelah sebagai &-hadiah- dari pejuang Mujahidin Aceh.
Saat kami asyik memperhatikan koleksi museum, tiba-tiba seseorang datang menegur kami dari belakang Hallo apa kabar orang-orang Aceh, pasti kalian suka sekali dengan perang. Suara itu datang dari seorang kakek, berambut putih, ternyata juga seorang veteran dan sengaja datang menemani kami untuk memberikan kesaksian. Saat kami tanyakan, pernahkah bertugas ke Aceh? Dia menjawab dengan menghela celana ke atas lutut dan menunjukkan parut bekas luka sayatan pedang di betisnya &-inilah kenang-kenangan saya dari Aceh-, katanya sambil tertawa. Dialah Koller, menceritakan banyak pengalamannya semasa perang Aceh melawan Belanda dengan cukup bersemangat dan bangga dengan heroisme rakyat Aceh. Berkali-kali dia mengepal tangan dan memutar-mutar badan, sangking seriusnya memperagakan perhelatan berdarah yang pernah ia rasakan langsung.
Ada satu kebiasaan rakyat Aceh dalam berperang yang membuat Koller dan tentara Belanda lainnya tak habis pikir, bahkan Belanda menyebutnya sebagai &-Atjeh Moorden- (Aceh Gila). Katanya, untuk menyerang kawanan patroli tentara Belanda, banyak orang yang beraksi sendiri untuk mencari jalan syahid, lalu bersembunyi dalam semak-semak. Begitu tentara Belanda sampai, dia langsung melompat dan mengucap &-Allahu Akbar, Lailahaillah- sambil mengayunkan pedangnya yang membuat beberapa tentara Belanda mati, namun dia pun ikut meninggal sebagai syahid.
Koller sendiri mengkritik strategi ini. Menurutnya jauh lebih bagus kalau pejuang Aceh tidak menyerang langsung dari depan, tetapi menunggu kawanan tentara melewatinya, baru menyerang dari belakang. Halbarisan depan saat berpatroli di Aceh. ini pasti lebih banyak lagi tentara Belanda mati. Itulah sebabnya Koller sendiri sangat berhati-hati kalau berada di
Apapun strateginya, yang jelas itulah kenyataan yang telah membuat Koller amat berkesan dengan figur orang Aceh, yang menurutnya memang berbeda: berbeda karena ketaatannya, kesetiaannya, kegigihannya yang tak gampang menyerah.
Di ujung kesaksian, Koller ternyata masih memendam keinginan untuk melawat Aceh suatu hari dari sisa-sisa hidupnya. Saat kami meninggalkan museum itu, ia pun kembali ke rumahnya dengan mendayungi sepeda seperti khas umumnya masyarakat negeri &-Tim Orange- itu.
Sumber: Harian Aceh-Ruslan Razali, pemerhati Perdamaian Aceh dan Post Graduate Student pada International Islamic University Malaysia